Bencana Kabut ASAP yang Tak Kunjung
Usai
Siapa yang Tanggung Jawab?
#Kabut ASAP
Part 1: Menilik History “Pelegalan” Pembakaran Hutan
Di balik Bencana Kabut ASAP yang
berkepanjangan, terdapat sebuah pertanyaan yang menggelitik. Mengapa
masyarakat/korporasi berani membakar hutan dan lahan gambut? Apakah mereka
tidak takut akan sanksi hukum yang dapat menjerat mereka ke penjara? Apakah
mereka tidak memikirkan nasib ribuan orang yang setiap hari harus bertahan dalam
kepungan asap? Pertanyaan-pertanyaan retoris tersebut akhirnya menjadi topik
hangat dalam diskusi kami.
Legalisasi pembakaran lahan hutan dipicu
oleh adanya celah hukum pada Pasal
69 ayat 2 UU Lingkungan Hidup No 32 Tahun 2009. Bagian penjelasan Ayat 2 dengan
jelas menyatakan bahwa masyarakat
diperbolehkan melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare
per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi
oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.
Aturan ini belum dilengkapi penjelasan secara rinci siapa yang disebut
masyarakat lokal, akibatnya pembakaran lahan dilakukan oleh masyarakat lokal
dan masyarakat “bayaran” yang bertopeng masyarakat lokal
Celah
hukum legalisasi pembakaran hutan terdapat juga pada Undang-Undang Penataan Ruang No.26 Tahun
2007 yang memberikan kekuasaan daerah untuk menentukan RTRW (Rencana Tata Ruang
Wilayah) di wilayahnya secara otonom. UU Penataan Ruang ini, memberi
amanat kepada daerah untuk menyediakan kawasan hutan minimal 30% dari luas DAS (Daerah
Aliran Sungai). Ketika luas kawasan hutan di daerah lebih dari 30%, maka mereka
ramai-ramai mengurangi kawasan hutan sampai dengan batas minimal yang
ditentukan (30%). Hal ini dilakukan karena daerah dituntut mendapatkan PAD
(Pendapatan Asli Daerah) yang sebesar-besarnya. Jika kawasan tersebut tidak
lagi dijadikan sebagai kawasan hutan, maka daerah sah – sah saja untuk “membakarnya” karena RTRW-nya bukan merupakan kasawan hutan.
Undang-undang
merupakan sumber hukum bagi pembuatan peraturan perundangan pada level yang
lebih rendah seperti Peraturan Gubernur (Pergub) dan Peraturan Bupati (Perbup).
Jika pada level yang tinggi (undang-undang) sudah terdapat celah hukum untuk
melakukan pembakaran hutan, maka peraturan perundang-undangan di bawahnya akan
semakin melenceng. Hal tersebut dapat dilihat dari Peraturan Gubernur
Kalimantan Tengah dan Riau.
Pertama, mari kita lihat Peraturan Gubernur
Kalimantan Tengah Nomor 15 Tahun 2010 Tentang
Perubahan atas Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 52 Tahun 2008
yang berisi tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat di
Kalimantan Tengah. Peraturan tersebut terdiri dari 2 Pasal. Pasal 1 berisi
sebagai berikut:
Pasal 1
(1)
Setiap orang yang melakukan pembukaan lahan dan
pekarangan dengan cara pembakaran terbatas dan terkendali harus mendapatkan
izin dari pejabat yang berwenang sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan
Gubernur ini.
(2)
Pejabat yang berwenang memberikan izin adalah
Bupati/Walikota.
(3)
Kewenangan pemberian izin sebagaimana dimaksud ayat (1)
dan (2) dengan luas lahan dibawah 5 Ha, dilimpahkan kepada:
a. Camat, untuk luas lahan
diatas 2 Ha sampai dengan 5 Ha;
b. Lurah/Kepala Desa, untuk
luas lahan diatas 1 Ha sampai dengan 2 Ha;
c. Ketua RT, untuk luas
lahan sampai dengan 1 Ha.
(4)
Pemberian izin
untuk pembakaran secara komulatif pada wilayah dan hari yang sama:
a. Tingkat Kecamatan
maksimal 100 Ha atau;
b. Tingkat Kelurahan/Desa
maksimal 25 Ha.
(5)
Permohonan perizinan dilengkapi dengan persyaratan
sebagai berikut:
a. Foto Copy Kartu Tanda
Penduduk;
b. Mengisi Formulir
permohonan izin sebagimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Gubernur ini.
(6)
Dalam pemberian izin, pejabat yang berwenang harus
memperhatikan data Indeks resiko kebakaran dan atau hotspot (titik panas),
Indeks Peringkat Numerik Cuaca Kebakaran atau Fire Weather Index (FWI) dan atau
Peringkat Numerik Potensi Kekeringan dan Asap atau Drought Code (DC); dan atau
jarak pandang yang berada diwilayahnya berdasarkan data dari instansi
Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota.
(7)
Semua perizinan pembakaran terbatas dan terkendali
dinyatakan tidak berlaku apabila Gubernur mengumumkan status “BERBAHAYA”
berdasarkan Indeks Kebakaran dan atau Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU)
sampai tingkat kebakaran dan atau keadaan darurat pencemaran udara dinyatakan
berhenti.
Pasal 2
“Peraturan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.”
Mencermati
Peraturan Gubernur di atas, maka tidak heran jika warga membakar hutan secara besar-besaran
hingga berdampak pada bencana kabut asap yang berkepanjangan. Hal ini karena memang ada peraturan yang
mengizinkan mereka untuk membuka lahan dengan cara pembakaran. Bahkan, jika
kita cermati isi dari Pasal 1 poin (4), pembakaran hutan secara kumulatif dalam
hari yang sama dapat diberikan kepada lingkup Kecamatan hingga batas maksimal
100 Ha dan lingkup Desa/Kelurahan maksimal 25 Ha. Tidak bisa dibayangkan berapa
ribu hektare lahan hutan yang dibakar dalam kurun waktu satu bulan.
Meskipun dalam peraturan Gubernur tersebut disebutkan bahwa jika status
kebakaran sudah masuk ke dalam level “BAHAYA” maka perizinan pembakaran tidak
berlaku lagi. Namun, sampai saat ini poin ini tidak pernah dijalankan dan masih
aktivitas pembakaran pun masih terus berlangsung dari tahun ke tahun.
Kedua,
Peraturan Gubernur Riau No 11 Tahun 2014 tentang Pusat
Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Provinsi Riau menyebut bahwa kepala desa
atau lurah dapat memberikan izin pembukaan hutan dengan pembakaran. Lurah
memberikan izi pembakar untuk lahan dengan luas di bawah
dua hektare. Sedangkan pembukaan lahan dan pembakaran hutan lebih dari 50
hektare harus mendapatkan izin dari Gubernur Riau.
Dua Peraturan Gubernur (Pergub) tersebut
merupakan bukti bahwa kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di negara kita
tidak lepas dari kelalaian para pemimpin baik pemimpin yang duduk di legsilatif
maupun di eksekutif. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan
dan lahan terus berulang maka peraturan-peraturan yang tidak sesuai harus
dirubah jika pemerintah tidak mau dikatakan sebagai pelaku utama pembakar hutan
dan lahan.
Luas Lahan Hutan Terbakar
Sejarah membuktikan bahwa pemerintah
tidak pernah me-release luas lahan
hutan yang terbakar secara pasti, hal ini menjadi salah satu yang menghambat
masyarakat (LSM) untuk melakukan penuntutan atas kelalaian pemerintah dalam
melindungi kehidupan masyarakat dan makhluk hidup lainnya.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Riau baru-baru
ini menyatakan bahwa
luas kebakaran lahan dan
hutan di daerah tersebut mencapai sekitar 1.957 hektare yang terjadi selama
periode Januari hingga akhir Agustus 2015. Luas lahan yang terbakar teresbut
lebih kecil jika dibandingkan pada kejadian kebakaran pada tahun 2014 yang mencapai
22.037 hektar (Suara
Pembaruan tanggal, 24/08/15). Luas tersebut
belum memperhitungkan hutan yang terbakar di provinsi lain seperti Jambi,
Palangkaraya, Palembang, dan beberapa wilayah Sumatara dan kalimantan laiannya.
Berbagai lembaga lingkungan hidup seperti Wahana Lingkungan
Hidup (Walhi) mengestimasi bahwa jumlah luas hutan yang terbakar pada tahun ini
mencapai 13 juta hektare. Kemudian kajian yang dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
bersama Bank Pembangunan Asia (ADB) memperkirakan jumlah lahan yang terdampak
akibat kebakaran mencapai 9,75 juta hektare. Tragedi kebakaran hutan dan lahan
ini menjadi persoalan serius karena menyangkut dampak kesehatan dan lingkungan,
yakni timbulnya berbagai macam penyakit infeksi saluran pernafasan (ISPA)
bahkan info terakhir sudah memakan 23 korban meninggal dunia (Jumpa Pers
Mensos di BNPB pada Kamis, 29/10/15),
meningkatnya pelepasan karbon ke udara dan terlebih lagi kebakaran ini telah membunuh
ribuan satwa liar dan tumbuhan yang hidup di hutan.
Ketidaksinkronan Aturan
Tiga peraturan perundangan di atas yaitu Undang-Undang Lingkungan
Hidup No.32 Tahun 2009, Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 15 Tahun 2010,
Peraturan Gubernur
Riau No 11 Tahun 2014 jelas bahwa aktivitas membakar hutan adalah
legal dan sah-sah saja dilakukan oleh warga maupun korporasi. Padahal, jika
kita melihat pada Undang-Undang Kehutanan No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Perihal sanksi pidana pada Bab XVI Pasal 72-74, jelas dikatakan bahwa:
“untuk
perseorangan yang mengalihfungsikan lahan dikenakan denda pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun atau denda sebesar 1-3
milyar rupiah. Sedangkan untuk korporasi akan dikenakan pidana penjarapaling
singkat selama 2 (dua) tahun dan paling lama selama 7 (tujuh) tahun atau
membayar denda sebesar 1 – 5 milyar rupiah. Untuk pejabat berwenang yang
mengeluarkan izin pengalihfungsian lahan juga akan dikenakan sanksi pidana
yaitu penjara paling singkat selama 1
sampai dengan 5 tahun atau denda sebesar 1- 5 milyar.”
Kontradiksi antar peraturan perundangan di atas menjadi salah satu
penyebab susahnya penyelesaian bencana kabut asap di negeri ini. Karena kita
tahu bahwa PerDa ( Peraturan Daerah) menjadi kuat semenjak disahkannya UU No.32
Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Menurut hasil diskusi saya dengan
salah satu staf di Badan Nasional Penanggulangan
Bencana Nasional (BNPB) Jakarta, Ali Mahfud, mengatakan bahwa perlu adanya
tindakan tegas dari pemerintah pusat. Lagi – lagi, ini menyangkut soal
sinergisme dan tindakan nyata dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, korporasi, dan warga masyarakat itu sendiri.
Ketidaksinkronan antara peraturan
ini jika tidak segera diselesaikan maka pembakaran lahan hutan akan terus
terjadi. Karena secara undang-undang, aktivitas pembakaran tersebut sah-sah
saja dilakukan oleh warga maupun korporasi. Di lain sisi, pemerintah kurang tegas dalam menindaklanjuti
pelanggaran-pelanggarn yang terjadi terkait dengan Undang-Undang Kehutanan tentang Perlindungan Lahan. Berbagai rencana strategis dalam
upaya penyelesaian bencana kabut asap pun sudah dirumuskan. Saat ini, tinggal
implementasi nyata lah yang ditunggu-tunggu oleh para korban Bencana Asap.
Upaya – upaya dalam menangani Bencana Kabut ASAP akan
dijelaskan pada Part selanjutnya. Ditunggu ya.... :)
Selamat pagi dan tetap semangat !!!!
#Tulisan ini disummary-kan dari hasil diskusi saya dengan My Beloved Patner, Ali Mahfud,S.Hut. yang saat ini sedang menyelesaikan
tesis Pasca-Sarjana “Cadangan Karbon di Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi (HCV) dalam
Mendukung Implementasi RSPO”. Tesis tersebut sebagai salah satu metode
penyelesaian bencana kabut asap dalam jangka panjang.
Jakarta, 5 November 2015
Regards,
Ali & Aliya