Apakah Sekolah Harus Mahal?
Resensi buku “Orang Miskin Dilarang Sekolah”
Karya Eko Prasetyo
Hubungan antara ekonomi dan pendidikan selalu menarik untuk dikaji. Salah satu teori menyatakan bahwa jika tingkat ekonomi masyarakat tinggi maka tingkat kemampuan mereka untuk memperoleh - lebih tepatnya membeli - pendidikan menjadi tinggi. Lebih dari itu prestasi mereka yang berekonomi tinggi (orang kaya) cenderung lebih baik dibanding mereka yang berekonomi rendah. Meskipun ada beberapa kasus yang menunjukkan bahwa orang-orang yang Hubungan antara ekonomi dan pendidikan selalu menarik untuk dikaji. Ada banyak teori yang memiliki tingkat ekonomi rendah bisa pula berprestasi tinggi dalam pendidikannya, hal itu tidak dengan sendirinya menghapus teori tersebut.
Karena
sedemikian menarik dan pentingnya, maka masalah yang berkaitan antara wilayah
ekonomi dan pendidikan dari waktu ke waktu terus dikaji dan dipersoalkan orang.
Salah satu dari mereka yang berani menyuarakan nada berbeda adalah Eko
Prasetyo. Lewat buku berjudul Orang Miskin Dilarang Sekolah! ia menentang
praktik-praktik sekolah yang banyak melakukan pungutan kepada siswa (orang tua
siswa) sehinga membuat biaya sekolah menjadi mahal, bahkan sangat mahal.
Lewat
buku ini Eko membeberkan sekian banyak fakta sebagai bukti bahwa ternyata
sekolah itu sangat mahal, sedemikian mahalnya sehingga tidak bisa dijangkau
oleh anak-anak orang miskin karena orang tua mereka tak mampu membayarnya.
"..... uang sekolah sekarang macam-macam, ada uang pramuka, uang musik, uang
daftar ulang, ulang buku, dan uang wisata....... cekikan biaya sekolah ini
memang menjadi beban di saat kesulitan ekonomi menghantam banyak rumah tangga.
Sekolah yang terus digenjot dalam hal pembiayaan fisik dengan menimpakan biaya
pada orang tua jelas bukan mandat utama pendidikan," (hlm. 4).
Di
sisi lain Eko menunjukkan bahwa fasilitas sekolah yang mewahlah, yang membuat
sekolah harus mahal. Ia mempertanyakan, "Benarkah untuk menghadirkan
senyum polos anak-anak, kita harus mengeluarkan biaya besar-besaran. Saya ragu
dan sanksi", tulisnya (hlm. 5). Menurut Eko, tingginya biasa sekolah
disebabkan oleh banyak faktor, termasuk intervensi pihak luar pada sekolah.
"...... kami juga dipungut biaya untuk nonton film perjuangan. Saya ingat,
bagaimana digiring masuk gedung bioskop untuk melihat film dari Serangan Fajar
hingga Pemberontakan G 30 S PKI". (hlm. 13). Selain itu sekolah mahal
diakibatkan pula tingginya kasus korupsi para kepala sekolah (hlm. 16).
Lantas
apa solusi yang ditawarkan Eko? Baginya, sekolah itu mestinya murah (hlm. 195).
Alasan konstitusional mengapa sekolah harus murah, menurutnya, adalah bunyi
amandemen UUD 1945 yang mewajibkan sekolah bisa menampung semua warga.
Karenanya, sekolah memang perlu murah agar bisa menyedot semua orang. Realitasnya,
di mana-mana sekolah semakin mahal. Maka, baginya harus ada jalan radikal agar
sekolah bisa murah (hlm. 220-229).
Jalan
pertama adalah menekan dan memaksa pemerintah untuk mengalokasikan dana
pendidikan minimal 20 persen dari total APBN. Kedua melakukan pemotongan gaji
untuk pejabat tinggi yang dialokasikan pada dunia pendidikan. Ketiga menarik
pajak pendidikan melalui perusahaan-perusahaan besar. Keempat menginvestigasi
dan menjatuhkan sanksi kepada semua pihak yang melakukan korupsi atas anggaran
pendidikan. Kelima mendorong sektor usaha yang terkait dengan lembaga
pendidikan untuk mengalokasikan anggaran yang bisa dimanfaatkan secara maksimal
oleh institusi pendidikan. Keenam melibatkan media massa terutama untuk memberi
liputan yang berani dan tajam mengenai komitmen sejumlah kalangan untuk
pendidikan. Ketujuh membuat standar baru tentang kualitas pendidikan yang tidak
saja menyentuh kemampuan dan kreativitas siswa melainkan juga ongkos sekolah.
Kedelapan mendorong manajemen lembaga pendidikan secara terbuka dengan
melibatkan sejumlah siswa dan (mahasiswa) untuk mendesain kebutuhan lembaga
pendidikan. Kesembilan mendorong kalangan parlemen untuk terlibat aktif dalam
penentuan pejabat pendidikan. Terakhir, kesepuluh, melakukan penarikan dana
langsung ke kalangan masyarakat.
Selesai
sampai di situkah? Belum. Jika cara-cara itu mentok Eko mengajak pembaca untuk
melakukan gerakan yang lebih "sadis" lagi, yaitu melawan sekolah
mahal lewat gerakan sosial (hml. 231).
Meskipun
demikian - herannya - hingga hari ini berbondong-bondong orang tua menyerbu
sekolah berlabel sekolah favorit, sekolah unggul, sekolah plus, dan embel-embel
lain yang menunjukkan bahwa sekolah itu menawarkan nilai lebih. Herannya juga,
hingga hari-hari ini orang tua siswa tidak berhenti untuk lebih 'ganjen'
ketimbang para guru TK dan SD.
Maka
masa-masa TK dan SD yang lebih merupakan masa bermain bagi anak didik,
diprovokasi oleh orang tua agar menawarkan pembelajaran menyimpang dari
perkembangan alamiah anak - selain juga menyimpang dari kurikulum - tapi
menimbulkan kebahagiaan semua orang tua. Jadilah sekolah yang semula tempat
bermain berubah menjadi 'penjara' bagi siswa. Sekolah menjadi tidak
menyenangkan bagi anak-anak karena mereka harus belajar banyak ilmu dan
keterampilan yang ternyata lebih banyak merupakan ambisi orang tua mereka.
Fakta
seperti anak TK diajari bahasa Inggris, diajari berhitung, diajari membaca,
sungguh membanggakan orang tua yang melihat anak seusia itu sudah bisa bahasa
Inggris, bisa berhitung - tidak bisa dipungkiri terjadi di banyak kota besar
Indonesia. Mereka tak sadar bahwa mereka telah 'memperkosa' kemerdekaan masa
bermain anak-anak mereka demi gengsi mereka (gengsi orang tua).
Guru-guru
TK-SD, pengawas TK-SD, kepala TK-SD, bukan tidak tahu bahwa hal itu keliru,
tetapi mereka tak berdaya, jika tidak memenuhi selera orang tua (sebagai
konsumen layanan pendidikan) maka sekolah mereka tak laku. Jika memenuhi
keinginan orang tua, berarti memperkosa masa bermain anak. Dilema? Bukan
dilema. Anggaplah hal itu hanya sebuah masalah kecil yang solusinya bisa lahir
jika ada semacam kesadaran dari kedua belah pihak.
Fitrotun
Aliyah
Program fasttrack 2011
Pascasarjana Teknik Kimia UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar