Minggu, 03 April 2016

PROGRAM BEASISWA SANTRI BERPRESTASI (PBSB) 2016

PROGRAM BEASISWA SANTRI BERPRESTASI (PBSB) 2016
Oleh Kementrian Agama RI

Pondok Pesanrtren, santri, dan pendidikan agama islam adalah serangkaian yang tidak bisa dipisahkan. di Pondok Pesantren lah para Santri ini menimba ilmu. Tidak hanya ilmu keagamaan, ilmu formal, namun juga ilmu kehidupan. Tidak jarang para Santri tersebut memiliki segudang prestasi yang gemilang. Bahkan, tidak hanya hafalan 30 jus Alquran, para santri juga ada yang mentereng di berbagai perlombaan dan olimpiade.

Untuk menunjang dan mendorong para Santri yang memiliki prestasi bagus, dan keinginan kuat untuk melanjutkan studi ke jenjang Perguruan Tinggi, Kementrian Agama RI menyediakan beasiswa Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) 2016.

Pendaftaran PBSB 2016 akan dibukan tanggal 4 April 2016.
Panduan pendaftaran PBSB 2016 dapat dibuka di link berikut:
http://pbsb.ditpdpontren.kemenag.go.id/pbsb/alur-pendaftaran-pbsb-2016/

untuk informasi lebih lengkapnya..bisa membuka website resmi PBSB 2016:
http://pbsb.ditpdpontren.kemenag.go.id/pbsb/


Berikut list Jurusan dan Prpgram Studi yang ditawarkan:

NOPERGURUAN TINGGIFAKULTASPROGRAM STUDIBIDANG PILIHANBIDANG SEKOLAH
1UNIVERSITAS AIRLANGGAKEDOKTERANPENDIDIKAN DOKTERIPA & IPSIPA & IPS
PENDIDIKAN BIDANIPA & IPSIPA & IPS
KEDOKTERAN GIGIPENDIDIKAN DOKTER GIGIIPA & IPSIPA & IPS
FARMASIPENDIDIKAN APOTEKERIPA & IPSIPA & IPS
KESEHATAN MASYARAKATPENDIDIKAN KESEHATAN MASYARAKATIPA & IPSIPA & IPS
ILMU GIZIIPA & IPSIPA & IPS
KEPERAWATANPENDIDIKAN ILMU KEPERAWATANIPA & IPSIPA & IPS
2UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIAILMU PENDIDIKANBIMBINGAN DAN KONSELINGIPA & IPSIPA & IPS
TEKNOLOGI PENDIDIKANIPA & IPSIPA & IPS
ADMINISTRASI PENDIDIKANIPA & IPSIPA & IPS
3UNIVERSITAS GADJAH MADAPENDIDIKAN DOKTERIPAIPA
ILMU KEPERAWATANIPAIPA
KEDOKTERAN HEWANPENDIDIKAN DOKTER HEWANIPAIPA
FARMASIFARMASIIPAIPA
PERTANIANMANAJEMEN SUMBER DAYA PERIKANANIPAIPA
TEKNOLOGI PERTANIANTEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL PANGANIPAIPA
TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIANIPAIPA
EKONOMI DAN BISINISAKUNTANSIIPA & IPSIPA & IPS
ILMU EKONOMIIPA & IPSIPA & IPS
PSIKOLOGIPSIKOLOGIIPA & IPSIPA & IPS
ILMU SOSIAL DAN POLITIKILMU KOMUNIKASIIPA & IPSIPA & IPS
4INSTITU TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYATEKNOLOGI INFORMASITEKNIK INFORMATIKAIPAIPA
SISTEM INFORMASIIPAIPA
TEKNOLOGI INDUSTRITEKNIK ELEKTROIPAIPA
TEKNIK INDUSTRIIPAIPA
MIPASTATISTIKAIPAIPA
MATEMATIKAIPAIPA
5UIN SYARIF HIDAYATULLAHFKIKPENDIDIKAN DOKTERIPAIPA
KESEHATAN MASYARAKATIPAIPA
FARMASIIPAIPA
KEPERAWATANIPAIPA
6INSTITUT PERTANIAN BOGORPERTANIANMANAJEMEN SUMBER DAYA LAHANIPAIPA
AGRONOMI DAN HORTIKULTURAIPAIPA
PROTEKSI TANAMANIPAIPA
PERIKANAN DAN ILMU KELAUTANTEKNOLOGI DAN MANAJMEN PERIKANAN DAN BUDIDAYAIPAIPA
MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRANIPAIPA
TEKNOLOGI HASIL PERAIRANIPAIPA
ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTANIPAIPA
PETERNAKANILMU TEKNOLOGI PETERNAKANIPAIPA
NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKANIPAIPA
TEKNOLOGI PERTANIANTEKNIK MESIN DAN BIOSISTEMIPAIPA
TEKNOLOGI PANGANIPAIPA
TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIANIPAIPA
TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGANIPAIPA
EKOLOGI MANUSIAILMU GIZIIPAIPA
ILMU KELUARGA DAN KONSUMENIPAIPA
7UNIVERSITAS CENDRAWASIHKEDOKTERANPENDIDIKAN DOKTERIPAIPA
TEKNIKTEKNIK SIPILIPAIPA
8UIN SUNAN GUNUNG DJATIUSHULUDDINTASAWUF PSIKOTERAPIAGAMAIPA/IPS/AGAMA/BHS
9UIN WALI SONGO SEMARANGSYARIAH DAN HUKUMILMU FALAKAGAMAIPA/IPS/AGAMA/BHS
10UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTAUSHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAMILMU ALQURAN DAN TAFSIRAGAMAAGAMA
ILMU HADITSAGAMAAGAMA
11UIN SUNAN AMPEL SURABAYADAKWAH DAN KOMUNIKASIBIMBINGAN DAN KONSELING ISLAMAGAMAIPA/IPS/AGAMA/BHS
PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAMAGAMAIPA/IPS/AGAMA/BHS
12UIN ALAUDDDIN MAKASSARFKIKKEPERAWATANIPAIPA
FARMASIIPAIPA
KESEHATAN MASYARAKATANIPAIPA
13UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANGSAIN DAN TEKNOLOGITEKNIK INFORMATIKA
EKONOMIPERBANKAN SYARIAH
SYARIAHHUKUM BISNIS SYARIAH
HUMANIORABAHASA DAN SASTRA ARAB

Kamis, 05 November 2015

Mengurai Sejarah Kabut Asap

Bencana Kabut ASAP yang Tak Kunjung Usai
Siapa yang Tanggung Jawab?

#Kabut ASAP Part 1: Menilik History “Pelegalan” Pembakaran Hutan

Di balik Bencana Kabut ASAP yang berkepanjangan, terdapat sebuah pertanyaan yang menggelitik. Mengapa masyarakat/korporasi berani membakar hutan dan lahan gambut? Apakah mereka tidak takut akan sanksi hukum yang dapat menjerat mereka ke penjara? Apakah mereka tidak memikirkan nasib ribuan orang yang setiap hari harus bertahan dalam kepungan asap? Pertanyaan-pertanyaan retoris tersebut akhirnya menjadi topik hangat dalam diskusi kami.

       Legalisasi pembakaran lahan hutan dipicu oleh adanya celah hukum pada Pasal 69 ayat 2 UU Lingkungan Hidup No 32 Tahun 2009. Bagian penjelasan Ayat 2 dengan jelas menyatakan  bahwa masyarakat diperbolehkan melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya. Aturan ini belum dilengkapi penjelasan secara rinci siapa yang disebut masyarakat lokal, akibatnya pembakaran lahan dilakukan oleh masyarakat lokal dan masyarakat “bayaran” yang bertopeng masyarakat lokal

       Celah hukum legalisasi pembakaran hutan terdapat juga pada Undang-Undang Penataan Ruang No.26 Tahun 2007 yang memberikan kekuasaan daerah untuk menentukan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) di wilayahnya secara otonom. UU Penataan Ruang ini, memberi amanat kepada daerah untuk menyediakan kawasan hutan minimal 30% dari luas DAS (Daerah Aliran Sungai). Ketika luas kawasan hutan di daerah lebih dari 30%, maka mereka ramai-ramai mengurangi kawasan hutan sampai dengan batas minimal yang ditentukan (30%). Hal ini dilakukan karena daerah dituntut mendapatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang sebesar-besarnya. Jika kawasan tersebut tidak lagi dijadikan sebagai kawasan hutan, maka daerah sah – sah saja untuk membakarnya karena RTRW-nya bukan merupakan kasawan hutan.

Undang-undang merupakan sumber hukum bagi pembuatan peraturan perundangan pada level yang lebih rendah seperti Peraturan Gubernur (Pergub) dan Peraturan Bupati (Perbup). Jika pada level yang tinggi (undang-undang) sudah terdapat celah hukum untuk melakukan pembakaran hutan, maka peraturan perundang-undangan di bawahnya akan semakin melenceng. Hal tersebut dapat dilihat dari Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah dan Riau.

Pertama, mari kita lihat Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 15 Tahun 2010 Tentang  Perubahan atas Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 52 Tahun 2008 yang berisi tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat di Kalimantan Tengah. Peraturan tersebut terdiri dari 2 Pasal. Pasal 1 berisi sebagai berikut:

Pasal 1

(1)   Setiap orang yang melakukan pembukaan lahan dan pekarangan dengan cara pembakaran terbatas dan terkendali harus mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Gubernur ini.

(2)   Pejabat yang berwenang memberikan izin adalah Bupati/Walikota.

(3)   Kewenangan pemberian izin sebagaimana dimaksud ayat (1) dan (2) dengan luas lahan dibawah 5 Ha, dilimpahkan kepada:
a.    Camat, untuk luas lahan diatas 2 Ha sampai dengan 5 Ha;
b.    Lurah/Kepala Desa, untuk luas lahan diatas 1 Ha sampai dengan 2 Ha;
c.    Ketua RT, untuk luas lahan sampai dengan 1 Ha.

(4)    Pemberian izin untuk pembakaran secara komulatif pada wilayah dan hari yang sama:
a.    Tingkat Kecamatan maksimal 100 Ha atau;
b.    Tingkat Kelurahan/Desa maksimal 25 Ha.

(5)   Permohonan perizinan dilengkapi dengan persyaratan sebagai berikut:
a.    Foto Copy Kartu Tanda Penduduk;
b.    Mengisi Formulir permohonan izin sebagimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Gubernur ini.

(6)   Dalam pemberian izin, pejabat yang berwenang harus memperhatikan data Indeks resiko kebakaran dan atau hotspot (titik panas), Indeks Peringkat Numerik Cuaca Kebakaran atau Fire Weather Index (FWI) dan atau Peringkat Numerik Potensi Kekeringan dan Asap atau Drought Code (DC); dan atau jarak pandang yang berada diwilayahnya berdasarkan data dari instansi Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota.

(7)   Semua perizinan pembakaran terbatas dan terkendali dinyatakan tidak berlaku apabila Gubernur mengumumkan status “BERBAHAYA” berdasarkan Indeks Kebakaran dan atau Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) sampai tingkat kebakaran dan atau keadaan darurat pencemaran udara dinyatakan berhenti.


Pasal 2

“Peraturan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.”


       Mencermati Peraturan Gubernur di atas, maka tidak heran jika warga membakar hutan secara besar-besaran hingga berdampak pada bencana kabut asap yang berkepanjangan.  Hal ini karena memang ada peraturan yang mengizinkan mereka untuk membuka lahan dengan cara pembakaran. Bahkan, jika kita cermati isi dari Pasal 1 poin (4), pembakaran hutan secara kumulatif dalam hari yang sama dapat diberikan kepada lingkup Kecamatan hingga batas maksimal 100 Ha dan lingkup Desa/Kelurahan maksimal 25 Ha. Tidak bisa dibayangkan berapa ribu hektare lahan hutan yang dibakar dalam kurun waktu satu bulan. Meskipun dalam peraturan Gubernur tersebut disebutkan bahwa jika status kebakaran sudah masuk ke dalam level “BAHAYA” maka perizinan pembakaran tidak berlaku lagi. Namun, sampai saat ini poin ini tidak pernah dijalankan dan masih aktivitas pembakaran pun masih terus berlangsung dari tahun ke tahun.

       Kedua, Peraturan Gubernur Riau No 11 Tahun 2014 tentang Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Provinsi Riau menyebut bahwa kepala desa atau lurah dapat memberikan izin pembukaan hutan dengan pembakaran. Lurah memberikan izi pembakar untuk lahan dengan luas di bawah dua hektare. Sedangkan pembukaan lahan dan pembakaran hutan lebih dari 50 hektare harus mendapatkan izin dari Gubernur Riau.

       Dua Peraturan Gubernur (Pergub) tersebut merupakan bukti bahwa kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di negara kita tidak lepas dari kelalaian para pemimpin baik pemimpin yang duduk di legsilatif maupun di eksekutif. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan terus berulang maka peraturan-peraturan yang tidak sesuai harus dirubah jika pemerintah tidak mau dikatakan sebagai pelaku utama pembakar hutan dan lahan.

Luas Lahan Hutan Terbakar

       Sejarah membuktikan bahwa pemerintah tidak pernah me-release luas lahan hutan yang terbakar secara pasti, hal ini menjadi salah satu yang menghambat masyarakat (LSM) untuk melakukan penuntutan atas kelalaian pemerintah dalam melindungi kehidupan masyarakat dan makhluk hidup lainnya.
       Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Riau baru-baru ini menyatakan bahwa luas kebakaran lahan dan hutan di daerah tersebut mencapai sekitar 1.957 hektare yang terjadi selama periode Januari hingga akhir Agustus 2015. Luas lahan yang terbakar teresbut lebih kecil jika dibandingkan pada kejadian kebakaran pada tahun 2014 yang mencapai 22.037 hektar (Suara Pembaruan tanggal, 24/08/15). Luas tersebut belum memperhitungkan hutan yang terbakar di provinsi lain seperti Jambi, Palangkaraya, Palembang, dan beberapa wilayah Sumatara dan kalimantan laiannya.
       Berbagai lembaga lingkungan hidup seperti Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengestimasi bahwa jumlah luas hutan yang terbakar pada tahun ini mencapai 13 juta hektare. Kemudian kajian yang dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional bersama Bank Pembangunan Asia (ADB) memperkirakan jumlah lahan yang terdampak akibat kebakaran mencapai 9,75 juta hektare. Tragedi kebakaran hutan dan lahan ini menjadi persoalan serius karena menyangkut dampak kesehatan dan lingkungan, yakni timbulnya berbagai macam penyakit infeksi saluran pernafasan (ISPA) bahkan info terakhir sudah memakan 23 korban meninggal dunia (Jumpa Pers Mensos di BNPB pada Kamis, 29/10/15), meningkatnya pelepasan karbon ke udara dan terlebih lagi kebakaran ini telah membunuh ribuan satwa liar dan tumbuhan yang hidup di hutan.

Ketidaksinkronan Aturan          
       
       Tiga peraturan perundangan di atas yaitu Undang-Undang Lingkungan Hidup No.32 Tahun 2009, Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 15 Tahun 2010, Peraturan Gubernur Riau No 11 Tahun 2014 jelas bahwa aktivitas membakar hutan adalah legal dan sah-sah saja dilakukan oleh warga maupun korporasi. Padahal, jika kita melihat pada Undang-Undang Kehutanan No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Perihal sanksi pidana pada Bab XVI Pasal 72-74, jelas dikatakan bahwa:

“untuk perseorangan yang mengalihfungsikan lahan dikenakan denda pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun atau denda sebesar 1-3 milyar rupiah. Sedangkan untuk korporasi akan dikenakan pidana penjarapaling singkat selama 2 (dua) tahun dan paling lama selama 7 (tujuh) tahun atau membayar denda sebesar 1 – 5 milyar rupiah. Untuk pejabat berwenang yang mengeluarkan izin pengalihfungsian lahan juga akan dikenakan sanksi pidana yaitu  penjara paling singkat selama 1 sampai dengan 5 tahun atau denda sebesar 1- 5 milyar.”

       Kontradiksi antar peraturan perundangan di atas menjadi salah satu penyebab susahnya penyelesaian bencana kabut asap di negeri ini. Karena kita tahu bahwa PerDa ( Peraturan Daerah) menjadi kuat semenjak disahkannya UU No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Menurut hasil diskusi saya dengan salah satu staf di Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) Jakarta, Ali Mahfud, mengatakan bahwa perlu adanya tindakan tegas dari pemerintah pusat. Lagi – lagi, ini menyangkut soal sinergisme dan tindakan nyata dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, korporasi, dan warga masyarakat itu sendiri. Ketidaksinkronan antara peraturan ini jika tidak segera diselesaikan maka pembakaran lahan hutan akan terus terjadi. Karena secara undang-undang, aktivitas pembakaran tersebut sah-sah saja dilakukan oleh warga maupun korporasi. Di lain sisi, pemerintah kurang tegas dalam menindaklanjuti pelanggaran-pelanggarn yang terjadi terkait dengan Undang-Undang Kehutanan tentang Perlindungan Lahan. Berbagai rencana strategis dalam upaya penyelesaian bencana kabut asap pun sudah dirumuskan. Saat ini, tinggal implementasi nyata lah yang ditunggu-tunggu oleh para korban Bencana Asap.
Upaya – upaya dalam menangani Bencana Kabut ASAP akan dijelaskan pada Part selanjutnya. Ditunggu ya.... :) 

Selamat pagi dan tetap semangat !!!!

#Tulisan ini disummary-kan dari hasil diskusi saya dengan My Beloved Patner, Ali Mahfud,S.Hut. yang saat ini sedang menyelesaikan tesis Pasca-Sarjana “Cadangan Karbon  di Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi (HCV) dalam Mendukung Implementasi RSPO”. Tesis tersebut sebagai salah satu metode penyelesaian bencana kabut asap dalam jangka panjang.


Jakarta, 5 November 2015

Regards,
Ali & Aliya